Askep Trauma Ginjal

BAB I
Konsep Dasar

a. Definisi
Ginjal terletak di rongga retroperitonium dan terlindung oleh otot-otot punggung di sebelah posterior dan oleh organ-organ intraperitoneal di sebelah anteriornya. Karena itu cedera ginjal tidak jarang diikuti oleh cedera organ-organ yang mengitarinya. trauma ginjal merupakan trauma terbanyak pada sistem urogenital, lebih kurang 10% dari trauma pada abdomen mencederai ginjal.
Abdominal trauma merupakan cedera ke bagian perut. Mungkin tumpul atau tajam dan mungkin melibatkan kerusakan pada Abdominal organ. Tanda-tanda dan gejala meliputi nyeri pada perut, kesakitan, kaku, dan lebam dari perut eksternal.
Abdominal trauma menyajikan risiko berat kehilangan darah dan infeksi. Diagnosa mungkin melibatkan ultrasonography, Computed Tomography, dan Peritoneal lavage, dan mungkin memerlukan perawatan operasi.
Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh berbagai macam rudapaksa baik tumpul maupun tajam.
Ginjal yang terletak pada rongga retroperitoneal bagian atas hanya terfiksasi oleh pedikel pembuluh darah serta ureter, sementara masa ginjal melayang bebas dalam bantalan lemak yang berada dalam fascia Gerota. Fascia Gerota sendiri yang efektif dalam mengatasi sejumlah kecil hematom , tidak sempurna dalam perkembangannnya.  Kantong fascia ini meluas kebawah sepanjang ureter ,meskipun menyatu pada dinding anterior aorta serta vena cava inferior, namun mudah untuk sobek oleh adanya perdarahan hebat sehingga perdarahan melewati garis tengah     dan mengisi rongga retroperitoneal.(Guerriero, 1984).

Fasia Gerota

Gambar 3. Fasia Gerota, proyeksi anterior-posterior. (Guerriero, 1984)

Karena miskinnya fiksasi, ginjal mudah mengalami dislokasi oleh adanya akselerasi maupun deselerasi mendadak, yang  bisa menyebabkan trauma seperti avulsi collecting system atau sobekan pada   intima arteri renalis sehingga terjadi oklusi parsial maupun komplet pembuluh darah. Sejumlah darah besar dapat terperangkap didalam rongga retroperitoneal sebelum dilakukan stabilisasi. Keadaan ekstrem ini sering terjadi  pada pasien yang datang di ruang gawat darurat dengan kondisi stabil sementara terdapat perdarahan retroperitoneal. Korteks ginjal ditutupi kapsul tipis yang cukup kuat.
Trauma yang menyebabkan robekan kapsul sehingga menimbulkan perdarahan pada kantong gerota perlu lebih mendapat perhatian dibanding trauma yang tidak menyebabkan robekan pada kapsul.
Vena renalis kiri terletak ventral aorta sehingga luka penetrans didaerah ini bisa menyebabkan trauma pada kedua struktur. Karena letaknya yang berdekatan antara pankreas dan pole atas ginjal kiri serta duodenum dengan tepi medial ginjal kanan bisa menyebabkan trauma kombinasi pada pankreas, duodenum dan ginjal.. Anatomi ginjal yang mengalami kelainan seperti hidronefrosis atau tumor maligna lebih mudah mengalami ruptur hanya oleh adanya trauma ringan.(McAninch,2000).    

b. Etiologi
          Trauma tumpul ( 80-85% ),langsung ke abdomen,flank atau punggung.
          Kecelakaan kendaraan bermotor,penerbangan,jatuh,dan contact-sports.
          Kecelakaan kendaraan dengan kecepatan tinggi à trauma deselerasi dan trauma pada vasculer besar.
          Luka tembak dan tusukan benda tajam à trauma penetran pada ginjal. Sehingga setiap trauma tajam didaerah tersebut, dicurigai adanya trauma ginjal,sampai terbukti tidak.
          Pada luka tusuk ginjal, juga terjadi trauma pada organ visceral abdomen sekitar 80%.

c. Mekanisme Trauma Ginjal
Cedera ginjal dapat terjadi secara (1) langsung akibat benturan yang mengenai daerah pinggang atau (2) tidak langsung yaitu merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal secara tiba-tiba di dalam rongga retroperitonium. Goncangan ginjal di dalam rongga retroperitonium menyebabkan regangan pedikel ginjal sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis. Robekan ini akan memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang selanjutnya dapat menimbulkan trombosis arteri renalis beserta cabang-cabangnya. Cedera ginjal dipermudah jika sebelumnya sudah ada kelainan pada ginjal, antara lain hidronefrosis, kista ginjal, atau tumor ginjal.
Mekanisme yang umumnya terjadi pada trauma ginjal , yaitu
1.     Trauma tembus
2.     Trauma latrogenik
3.     Trauma tumpul
Trauma tembus seperti tembakan dan tikaman pada abdomen bagian atas atau pinggang merupakan 10 – 20 % penyebab trauma pada ginjal di Indonesia.
Luka karena senjata api dan pisau   merupakan luka tembus terbanyak  yang mengenai ginjal sehingga bila terdapat luka pada pinggang harus dipikirkan trauma ginjal sampai terbukti sebaliknya. Pada luka tembus ginjal, 80% berhubungan dengan trauma viscera abdomen. (Geehan , 2003; McAninch , 2000).
Luka Tembus Ginjal
Gambar 6.
A.Luka tembus peluru.
B.Luka tusuk. (Guerriero, 1984)

Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau radiologi intervensi, dimana di dalamnya termasuk retrograde pyelography, percutaneous nephrostomy, dan percutaneous lithotripsy. Dengan semakin meningkatnya popularitas dari teknik teknik di atas, insidens trauma iatrogenik semakin meningkat , tetapi kemudian menurun setelah diperkenalkan ESWL. Biopsi ginjal juga dapat menyebabkan trauma ginjal .
Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal. Dengan lajunya pembangunan, penambahan ruas jalan dan jumlah kendaraan, kejadian trauma akibat kecelakaan lalu lintas juga semakin meningkat.
Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Trauma langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olah raga, kerja atau perkelahian. Trauma ginjal biasanya menyertai trauma berat yang juga mengenai organ organ lain. Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan pergerakan ginjal secara tiba tiba di dalam rongga peritoneum. Kejadian ini dapat menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau robekan tunika intima arteri renalis yang menimbulkan trombosis.
Trauma Tumpul Ginjal
Gambar 4. Trauma tumpul yang merusak ginjal sering menyebabkan fraktur iga bawah dan prosesus transverses vertebra lumbal. (Blandy,1985)
            Ada beberapa faktor yang turut menyebebkan terjadinya trauma ginjal. Ginjal yang relatif mobile dapat bergerak mengenai costae atau corpus vertebrae, baik karena trauma langsung ataupun tidak langsung akibat deselerasi. Kedua, trauma yang demikian dapat menyebabkan peningkatan tekanan subcortical dan intracaliceal yang cepat sehingga mengakibatkan terjadinya ruptur. Yang ketiga adalah keadaan patologis dari ginjal itu sendiri. Sebagai tambahan, jika base line dari tekanan intrapelvis meningkat maka kenaikan sedikit saja dari tekanan tersebut sudah dapat menyebabkan terjadinya trauma ginjal. Hal ini menjelaskan mengapa pada pasien yang yang memiliki kelainan pada ginjalnya mudah terjadi trauma ginjal.
contrecoup of kidney
Gambar 5.
Mekanisme trauma ginjal. Kiri: Hantaman langsung pada abdomen. Gambar kecil menunjukkan gaya yang berjalan dari hilus renalis. Kanan: Jatuh terduduk dari ketinggian (contrecoup of kidney). Gambar kecil memperlihatkan gayadari arah cranial merobek pedikel ginjal.(McAninch, 2000)     


d. Klasifikasi Patologi Trauma Ginjal
Tujuan pengklasifikasian trauma ginjal adalah untuk memberikan pegangan dalam terapi dan prognosis.
Menurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma ginjal dibedakan menjadi (1) cedera minor, (2) cedera mayor, (3) cedera pada pedikel atau pembuluh darah ginjal. Sebagian besar (85%) trauma ginjal merupakan cedera minor (derajat I dan II), 15% termasuk cedera mayor (derajat III dan IV), dan 1% termasuk cedera pedikel ginjal.
Klasifikasi trauma ginjal menurut Sargeant dan Marquadt yang dimodifikasi oleh Federle :
Derajat
Jenis kerusakan
Grade I
·         Kontusio ginjal.
·         Minor laserasi korteks dan medulla tanpa gangguan pada sistem pelviocalices.
·         Hematom minor dari subcapsular atau perinefron (kadang kadang).
à  75 – 80 % dari keseluruhan trauma ginjal.
Grade II
-         Laserasi parenkim yang berhubungan dengan tubulus kolektivus sehingga terjadi extravasasi urine.
-         Sering terjadi hematom perinefron.
à  Luka yang terjadi biasanya dalam dan meluas sampai ke medulla.
à  10 – 15 % dari keseluruhan trauma ginjal.
Grade III
-         Laserasi ginjal sampai pada medulla ginjal, mungkin terdapat trombosis arteri segmentalis.
-         Trauma pada vaskularisasi pedikel ginjal
à  5 % dari keseluruhan trauma ginjal
Grade IV
-         Laserasi sampai mengenai kalikes ginjal.
-         Laserasi dari pelvis renal
Grade V
-         Avulsi pedikel ginjal, mungkin terjadi trombosis arteri renalis.
-         Ginjal terbelah (shattered).

Ilustrasi Klasifikasi Trauma Ginjal

Menurut Moore et al , trauma ginjal dibagi menjadi:(McAninch,2000)

1.  Trauma minor
Merupakan 85% kasus. Kontusio maupun ekskoriasi renal paling sering terjadi. Kontusio renal kadang diikuti hematom subkapsuler. Laserasi korteks superfisial juga merupakan trauma minor.

2.  Trauma mayor
Merupakan 15% kasus.Terjadi laserasi kortikomeduler yang dalam sampai collecting system menyebabkan ekstravasasi urine kedalam ruang perirenal. Hematom perirenal dan retroperitoneal sering menyertai laserasi dalam ini. Laserasi multiple mungkin menyebabkan destruksi komplit jaringan ginjal. Jarang terjadi laserasi pelvis renalis tanpa laserasi parenkim pada trauma tumpul.

3.   Trauma vaskuler
Terjadi sekitar 1% dari seluruh trauma ginjal. Trauma vaskuler pada pedikel ginjal ini memang sangat jarang  dan biasanya karena trauma tumpul. Bisa terjadi  total avulsi arteri dan vena  atau  avulsi parsial dari cabang segmental vasa ini. Regangan pada arteri renalis utama tanpa avulsi menyebabkan trombosis arteri renalis.  

e. Patoflow


 Manifestasi Klinis
Nyeri terlokalisasi pada satu pinggang atau seluruh perut. Trauma lain seperti ruptur visera abdomen atau fraktur pelvis multiple juga menyebabkan nyeri abdomen akut sehingga mengaburkan adanya trauma ginjal. Kateterisasi biasanya menunjukkan adanya hematuria. Perdarahan retroperitoneal bisa menyebabkan distensi abdomen, ileus, nausea serta vomitus.
Perlu diperhatikan adanya syok atau tanda-tanda kehilangan darah masiv karena perdarahan retroperitoneal. Cermati adanya ekimosis pada pinggang atau kuadran atas abdomen.Juga adanya patah tulang iga bagian bawah. Mungkin ditemukan nyeri abdomen difus pada palpasi yang merupakan tanda akut abdomen karena adanya darah pada cavum peritonei. Distensi abdomen mungkin ditemukan dengan bising usus yang menghilang. Masa yang palpable menandakan adanya hematom retroperitoneal besar atau suatu ekstravasasi urin. Namun jika retroperitoneum robek, darah bebas masuk ke cavum peritonei tanpa ditemukan masa palpable pada pinggang.

g. Diagnosis
Kecurigaan terhadap adanya cedera ginjal jika terdapat:
  1. Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah, dan perut bagian atas dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya jejas pada daerah itu.
  2. Hematuria.
  3. Fraktur costa sebelah bawah (T8-T12) atau fraktur prosesus spinosus vertebra.
  4. Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang.
  5. Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau kecelakaan lalu lintas.

h. Pemeriksaan Diagnostik
A.              Laboratorium 
Biasanya didapatkan adanya hematuri baik gross maupun mikroskopis. Beratnya hematuri tidak berbanding lurus dengan beratnya kerusakan ginjal. Pada trauma minor bisa ditemukan hematuri yang berat, sementara pada trauma mayor bisa hanya hematuri mikroskopis. Sedangkan pada avulsi total vasa renalis bahkan tidak ditemukan hematuri.Awalnya hematokrit normal namun kemudian terjadi ppenurunan pada pemeriksaan serial. Temuan ini menandakan adanya perdarahan retroperitoneal persisten yang menyebabkan terjadinya hematom retroperitoneal yang besar. Perdarahan yang persisten jelas memerlukan tindakan operasi. .(McAninch ,2000)

B.   Imaging
1. Plain Photo
Adanya obliterasi psoas shadow menunjukkan hematom retroperitoneaal atau ekstravasasi urin. Udara usus pindah dari posisinya. Pada tulang tampak fraktur prosesus transversalis vertebra atau fraktur iga.(Donovan , 1994)

2 .Intravenous Urography(IVU)
Pada trauma ginjal, semua semua trauma tembus atau trauma tumpul dengan hemodinamik tidak stabil yang membutuhkan eksplorasi segera harus dilakukan single shot  high dose intravenous urography(IVU) sebelum eksplorasi ginjal. Single shot IVU ini bersisi 2 ml/kgBB kontras standar 60% ionic atau non ionic yang disuntikkan intra vena, diikuti satu pengambilan gambar abdomen 10 menit kemudian. Untuk hasil yang baik sistol dipertahankan diatas 90 mmHg. Untuk menghemat waktu kontras dapat disuntikkan pada saat resusitasi awal. Keterbatasan pemeriksaan IVU adalah tak bisa mengetahui luasnya trauma.  Dengan IVU bisa dilihat fungsi kedua ginjal, adanya serya luasnya ekstravasasi urin dan pada trauma tembus bisa mengetahui arah perjalanan peluru pada ginjal. IVU sangat akurat dalam mengetahui ada tidaknya trauma ginjal. Namun untuk staging trauma parenkim, IVU tidak spesifik dan tidak sensitive. Pada pasien dengan hemodinamik stabil, apabila gambaran IVU abnormal dibutuhkan pemeriksaa lanjutan dengan Computed  Tomography(CT) scan.
Bagi pasien hemodinamik tak stabil, dengan adanya IVU abnormal memerlukan tindakan eksplorasi.

3. CT Scan
Staging trauma ginjal paling akurat dilakukan dengan sarana CT scan. Teknik noninvasiv ini  secara jelas memperlihatkan laserasi parenkim dan ekstravasasi urin, mengetahui infark parenkim segmental, mengetahui ukuran dan lokasi  hematom retroperitoneal, identifikasi jaringan nonviable serta  cedera terhadap organ sekitar seperti lien, hepar, pancreas  dan kolon.(Geehan , 2003; Brandes , 2003)  CT scan telah menggantikan pemakaian IVU dan arteriogram.Pada kondisi akut, IVU menggantikan arteriografi karena secara akurat dapat memperlihatkan cedera arteri baik arteri utama atau segmental. Saat ini telah  diperkenalkan suatu helical CT scanner  yang mampu melakukan imaging dalam waktu 10 menit pada trauma abdomen. .(Brandes , 2003)

4. Arteriografi
Bila pada pemeriksaan sebelumnya tidak semuanya dikerjakan, maka arteriografi bisa memperlihatkan cedera parenkim dan arteri utama. Trombosis arteri dan avulsi pedikel ginjal terbaik didiagnosis dengan arteriografi terutama pada ginjal yang nonvisualized dengan IVU. Penyebab utama ginjal nonvisualized pada IVU adalah avulsi total pedikel, trombosis arteri, kontusio parenkim berat yang menyebabkan spasme vaskuler. Penyebab lain adalah memang tidak adanya ginjal baik karena kongenital atau operasi sebelumnya.(MC Aninch , 2000)

5. Ultra Sonography(USG)
Pemeriksa yang terlatih dan berpengalaman dapat mengidentifikasi adanya laserasi ginjal maupun hematom. Keterbatasan USG adalah ketidakmampuan untuk        membedakan darah segar dengan ekstravasasi urin, serta ketidakmampuan mengidentifikasi cedera pedikel  dan infark segmental. Hanya dengan Doppler berwarna maka cedera vaskuler dapat didiagnosis. Adanya fraktur iga , balutan, ileus intestinal, luka terbuka serta obesitas membatasi visualisasi ginjal.(Brandes SB, 2003)


i.  Komplikasi
A. Komplikasi Awal
    Komplikasi awal terjadi I bulan pertama setelah cedera
1.  Urinoma
Terjadi < 1% kasus trauma ginjal. Jika kecil dan noninfeksius maka tidak membutuhkan intervensi bedah. Bila besar perlu dilakukan pemasangan tube ureter atau nefrostomi perkutan /endoskopik.
 2.  Delayed bleeding
Terjadi dalam waktu 2 minggu cedera. Bila besar dan simtomatik dilakukan   embolisasi.
 3. Urinary fistula
Terjadi karena adanya urin yang tidak didrain atau infark segmen besar parenkim gunjal.
 4.  Abses
Terdapat ileus, panas tinggi dan sepsis. Mudsah didrainase perkutan.
 5. Hipertensi
Pada periode awal pasca operasi biasanya karena rennin mediated, transient   dan tidak membutuhkan tindakan .

B. Komplikasi Lanjut
Hidronefrosis, arteriovenous fistula, pielonefritis. Kalkulus, delayed hipertensi
Scarring pada daerah pelvis renis dan ureter pasca trauma bisa menyebabkan obstruksi urine yang menyebabkan terbentuknya batu dan infeksi kronik. Fistula arteriovenosa sering terjadi setelah luka tusuk yang ditandai dengan delayed bleeding. Angiografi akan memperlihatkan ukuran dan posisi fistula.Pada sebagian besar kasus mudah dilakukan penutupan fistula dengan embolisasi. Hipertensi delayed pasca cedera ginjal karena iskemi ginjal merangsang aksis renin-angiotensin.
            Ginjal sangat terlindungi oleh organ-organ disekitarnya sehingga diperlukan kekuatan yang cukup yang bisa menimbulkan cedera ginjal. Namun pada kondisi patologis seperti hidronefrosis atau malignansi ginjal maka ginjal mudah ruptur oleh hanya trauma ringan. Mobilitas ginjal sendiri membawa konsekuensi terjadinya cedera parenkim ataupun vaskuler.Sebagian besar trauma ginjal adalah trauma tumpul dan sebagian besar trauma tumpul menimbulkan cedera minor pada ginjal yang hanya membutuhkan bed rest.
Diagnosis  trauma ginjal ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Pada pemeriksaan fisik digali mekanisme trauma serta kemungkinan gaya yang menimpa ginjal maupun organ lain disekitarnya. Pemeriksaan fisik diperlukan untuk menilai ABC nya trauma, local ginjal maupun organ lain yang terlibat. Pada pasien ini mungkin ditemukan hematuria gross ataupun mikroskopis atau mungkin tanpa hematuria.Bila kondisi tidak stabil walau dengan resusitasi maka tidak ada pilihan kecuali eksplorasi segera .Pada pemeriksaan penunjang plain photo bisa ditemukan patah tulang iga bawah, prosesus transversus vertebra lumbal yang menunjukkan kecurigaan kita terhadap trauma ginjal.Pada pemeriksaan IVU akurasinya 90% namun pada pasien hipotensi tidak bisa diharapkan hasilnya. IVU juga tidak bisa menilai daerah retroperitoneal serta sangat sulit melakukan grading. Pada kondisi tak stabil, maka hanya dilakukan one shot IVU yang bisa menilai ginjal kontralateral. Pemeriksaan dengan CT scan merupakan gold standard karena dengan alat ini bisa melakukan grading dengan baik. Bagian-bagian infark ginjal terlihat, serta seluruh organ abdomen serta retroperitoneum juga jelas. Pemeriksaan angiografi sangat baik dilakukan pada kecurigaan cedera vaskuler. Dilakukan arteriografi apabila CT scan tidak tersedia. Kerugiannya pemeriksaan ini invasif.
Prinsip penanganan trauma ginjal adalah meminimalisasi morbiditas dan mortalitas serta sedapat mungkin mempertahankan fungsi ginjal. Hanya pasien dengan indikasi jelas dilakukan nefrektomi. Keselamatan jiwa pasien tentunya lebih penting dari pada usaha peyelamatan ginjal namun jiwa melayang.  Teknik operasi saat ini memegang peranan penting dalam penyelamatan ginjal. Dengan kontrol pembuluh darah ginjal maka terjadi penurunan angka nefrektomi. Kontrol pembuluh darah dilakukan diluar fasia Gerota sebelum masuk zona trauma. Tanpa isolasi arteri dan vena , dekompresi hematom ginjal yang dilakukan durante operasi meningkatkan insidensi nefrektomi.   

j.  Penatalaksanaan
1.  Konservatif
Tindakan konservatif ditujukan pada trauma minor. Pada keadaan ini dilakukan observasi tanda-tanda vital (tensi, nadi, suhu tubuh), kemungkinan adanya penambahan masa di pinggang, adanya pembesaran lingkar perut, penurunan kadar hemoglombin dan perubahan warna urin pada pemeriksaan urin serial.(Purnomo , 2003) Trauma ginjal minor 85% dengan hematuri akan berhenti dan sembuh secara spontan. Bed rest dilakukan sampai hematuri berhenti.(McAninch, 2000)
 
2.  Eksplorsi
a.   Indikasi absolut
Indikasi absolut adalah adanya perdarahan ginjal persisten yang ditandai oleh adanya hematom retroperitoneal yang meluas dan berdenyut. Tanda lain adalah adanya avulsi vasa renalis utama pada pemeriksaan CT scan atau arteriografi.
b.  Indikasi relatif
b.1.Jaringan nonviable
Parenkim ginjal yang nekrosis lebih dari 25% adalah indikasi relatif untuk dilakukan eksplorasi.

 b.2.Ekstravasasi urin
Ekstravasasi urin menandakan adanya cedera ginjal mayor. Bila ekstravasasi menetap maka membutuhkan intervensi bedah.

 b.3.Incomplete staging
Penatalaksanaan nonoperatif dimungkinkan apabila telah dilakukan pemeriksaan imaging untuk menilai derajat trauma ginjal. Adanya incomplete staging memerlukan pemeriksaan imaging dahulu atau eksplorasi /rekonstruksi ginjal.     Pada pasien dengan kondisi tidak stabil yang memerlukan tindakan laparotomi segera, pemeriksaan imaging yang bisa dilakukan hanyalah one shot IVU di meja operasi. Bila hasil IVU abnormal atau tidak jelas atau adanya perdarahan persisten pada ginjal harus dilakukan eksplorasi ginjal.

 b.4.Trombosis Arteri
            Cedera deselerasi mayor menyebabkan regangan pada arteri renalis dan akan menyobek tunika intima, terjadi trombosis arteri renalis utama atau cabang segmentalnya yang akan menyebebkan infark parenkim ginjal. Penegakan diagnosis yang tepat serta timing operasi sangat penting dalam penyelamatan ginjal. Renal salvage dimungkinkan apabila iskemia kurang dari 12 jam. Jika ginjal kontralateral normal, ada kontroversi apakah perlu revaskularisasi atau observasi.Jika iskemia melebihi 12 jam, ginjal akan mengalami atrofi.     Nefrektomi dilakukan hanya bila delayed celiotomy dilakukan karena adanya cedera organ lain atau jika hipetensi menetap pasca operasi. Trombosis arteri renalis bilateral komplit atau adanya ginjal soliter dibutuhkan eksplorasi segera dan revaskularisasi.

 b.5.Trauma tembus
Pada trauma tembus indikasi absolut dilakukan eksplorasi adalah perdarahan arteri persisten. Hampir semua trauma tembus renal dilakukan tindakan bedah. Perkecualian adalah trauma ginjal tanpa adanya penetrasi peluru intraperitoneum Luka tusuk sebelah posterior linea aksilaris posterior relatif tidak melibatkan cedera organ lain.(Brandes, 2003)  

 
Teknik Operasi
A.  Approach
Dilakukan transperitoneal karena dapat mengenali dan menanggulangi trauma intraabdominal lain serta dapat melakukan isolasi pembuluh darah ginjal sebelum melakukan eksplorasi ginjal.

B.  Isolasi pembuluh darah ginjal(Prosedur MCAninch)
Dimaksudkan untuk mengendalikan perdarahan waktu dilakukan eksplorasi ginjal sebelum tamponade hematom retroperitoneal dibuka. Usus halus dan kolon disingkirkan ke lateral dan cranial. Buat insisi pada peritoneum posterior sebelah medial dan sejajar dengan vena mesentrika superior. Insisi berada di ventral aorta dan dengan meneruskan insisi ke cranial akan didapat vena renalis kiri yang berjalan melintang di ventral aorta. Vena renalis kiri merupakan tanda yang penting karena relatif mudah ditemukan, sementara di kraniodorsal akan didapat arteri renalis kiri. Vena renalis kanan bermuara pada vena kava lebih kaudal disbanding  vena renalis kiri dan di cranial vena renalis kanan akan dijumpai arteri renalis kanan.Pada saat pembuluh darah dijerat untuk mengendalikan perdarahan tapi wrm ischaemic time tidak boleh lebih dari 30 menit. Bila diperlukan lebih lama ginjal didinginkan dengan es.    Dengan teknik ini di RSCM dapat diturunkan angka nefrektomi dari 635 menjadi 36%. Setelah prosedur ini, eksplorasi ginjal dilakukan dengan membuat irisan peritoneum parakolika.(Taher A, 2003).
Isolasi pembuluh utama ginjal

Gambar 11.
Isolasi Pembuluh utama ginjal. (McAninch, 2003)

C.  Rekonstruksi
Setelah membuka fascia gerota maka ginjal harus terpapar seluruhnya. Pada saat inilah biasanya terjadi perdarahan yang dapat dikendalikan dengan melakukan oklusi sementara pembuluh darah ginjal. Selanjutnya dilakukan debridemen fasia dan jaringan ginjal diikuti hemostasis sebaik mungkin. Bila dijumpai perdarahan pada leher kaliks, dilakukan penjahitan dengan benang absorabel kecil dan jarum atraumatik. Defek pelviokalises memerlukan penjahitan yang kedap air. Setelah itu baru dilakukan penjahitan parenkim sekaligus kapsulnya dengan jahitan matras menggunakan benang kromik 2-0. Lemak omentum dapat digunakan untuk menutup defek parenkim yang luas. Jaringan nonviable pada kutub atas maupun bawah yang luas memerlukan nefrektomi pasrsial. Cara guillotine merupakan cara yang mudah, namun penting untuk menyisakan kapsul ginjal agar dapat dipakai untuk menutup defek parenkim ginjal. Sebagai penggantinya dapat dipakai free graft peritoneum. Nefrektomi biasanya dilakukan pada robekan scattered atau mengenai daerah hilus. Laserasi luas pada bagian tengah ginjal dan mengenai pelviokalises sering berakhir dengan nefrektomi. Repair pembuluh darah perlu diusahakan dan cedera yang mengenai sekaligus a/v ginjal umumnya berakhir dengan nefrektomi. Di USA dari semua cedera arteriil hanya 44% kasus yang berhasil direpair. Ureter harus dikenali dan bila terdapat bekuan darah di ureter maupun pielum, pemasangan nefrostomi harus dilakukan dengan kateter foley 16F. Sebelum menutup rongga retroperitoneum dilaskukan pemasangan pipa drain. (Taher , 2003)     


 BA
B II

Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
a. Riwayat Penyakit
*            Keluhan utama atau alasan utama mengapa ia datang ke dokter atau ke rumah sakit
*            Adanya rasa nyeri : lokasi, karakter, durasi, dan hubungannya dengan urinasi, faktor- faktor yang memicu rasa nyeri dan yang meringankannya.
*            Riwayat infeksi trauma urinarius:
§    Terapi atau perawatan rumah sakit yang pernah dialami untuk menangani infeksi traktus urinarius
§    Adanya gejala panas atau menggigil
§    Sistoskopi sebelumnya, riwayat penggunaan kateter urine dan hasil- hasil pemeriksaan diagnostik renal atau urinarius.
*            Gejala kelainan urinasi seperti disuria, hesitancy, inkontinensia
*            Riwayat penyakit masa lalu, misal hematuria, nokturia, batu ginjal, Dm, hipertensi, dll.
*            Adanya riwayat lesi kongenital
*            Adanya riwayat merokok
*            Riwayat Penyalahgunaan obat dan alkohol
                                                                      
b. Pemeriksaan Fisik
*      Inspeksi
      Mengkaji adanya gejala edema yang menunjukkan retensi cairan; daerah muka dan ekstremitas dikaji secara khusus. Pada wanita dilakukan pemeriksaan vulva, uretra, dan vagina.
*      Palpasi
      Pemeriksaan letak ginjal, pemeriksaan rektal, kelenjar prostat, pembesaran nodus limfatikus, hernnia inguinal, atau femoral.
*      Perkusi
      Penyakit renal dapat menimbulkan nyeri tekan atau ketuk pada daerah angulus kostovertebralis yang terletak pada tempay iga ke-12 atau iga paling bawah.
*      Auskultasi
      Auskultasi kuadran atas abdomen dilakukan untuk mendeteksi bruit (suara vaskuler yang dapat menunjukkan stenosis pembuluh arteri renal).
c. Pemeriksaan Penunjang
*      Urinalisis
*      Pemeriksaan Fungsi Ginjal
*      Ultrasound (USG)
*      Pemeriksaan Sinar X dan pencitraan lainnya
*      Pemeriksaan Sistoskopi
*      Brush Biopsy Ginjal dan Uretra
*      Endeskopi Renal (Nefroskopi)
*      Biopsi Ginjal

2. Diagnosa Keperawatan
Trauma Tumpul :
  1. Nyeri akut berhubungan dengan efek fisiologis trombosis renalis dan cabang-vabangnya
  2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, neusea dan distensi ileus
  3. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi yang dialami dan proses pengobatan
  4. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan nyeri akut
  5. Resiko infeksi berhubungan dengan pendarahan pada retroperitonium

Trauma Tembus :
  1. Kekurangan volume cairan dan Elektrolit berhubungan dengan hemeturia dan neusea
  2. Nyeri akut berhubungan dengan robekan pada abdomen dan ginjal
  3. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit dan proses pengobatan
  4. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan nyeri akut
  5. Resiko Infeksi berhubungan dengan ruptur / pendarahan dan robekan pada abdomen


3. Rencana Keperawatan

Trauma Tumpul
DP. 1. Nyeri akut berhubungan dengan  efek fifikologis trombosis renalis dan cabang- cabangnya
Tujuan
Mendemonstrasikan bebas dari nyeri
Kriteria Hasil :
Pasien tidak mengalami nyeri atau nyeri menurun sampai tingkat yang dapat diterima, tidak ada gerakan menghindari nyeri, suhu tubuh normal
Batasan Karakteristik :
Subjektif
Mengungkapkan secara verbal maupun dengan isyarat
Objektif
Gerakan menghindari nyeri
Posisi menghindari nyeri
Pucat
Suhu tubuh nmeningkat
Intervensi dan Rasinalisasi
No
Intervensi
Rasionalisasi

1

2.



3.








4.



5.





6.


Mandiri :
Kaji tingkat nyeri

Amati perubahan suhu setiap 4 jam



Berikan tindakan untuk memberikan rasa nyaman seperti mengelap bagian punggung pasien, mengganti alat tenun yg kering setelah diaforesis, memberi minim hangat, lingkungan yg tenang dgn cahaya yg redup dan sedatif ringan jika dianjurkan berikan pelembab pada kulit dan bibir.

Kompres air hangat


Kolaborasi :
Konsul  pada  dokter  jika  nyeri   dan demam tetap ada atau mungkin memburuk.



Berikan  antibiotik  sesuai  dengan anjuran dan evaluasi keefektifannya.


Menentukan tindakan selanjutnya

Untuk mengidentifikasi kemajuan-kemajuan yang terjadi maupun penyimpangan yang terjadi

Tindakan  tersebut  akan meningkatkan relaksasi. Pelembab membantu mencegah kekeringan dan pecah-pecah di mulut dan bibir.





Kompres air hangat dapat menimalisir rasa nyeri


Analgesik membantu   mengontrol  nyeri dengan memblok jalan rangsang nyeri. Nyeri pleuritik yg berat sering kali memerlukan analgetik narkotik untuk mengontrol nyeri lebih efektif

Analgesik  membantu   mengontrol  nyeri dengan memblok jalan rangsang nyeri.


DP. 2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, neusea dan distensi ileus
Batasan Karakteristik :
Subjektif
Mengeluh lemah dan lesu
Objektif:
Penurunan berat badan
Masukan makanan dan cairan menurun
Mengemukakan tidak nafsu makan
Kulit kering
Warna urine pekat
Tujuan / Hasil Pasien (kolaboratif) :
Mendemonstrasikan masukan makanan yg adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
Kriteria Evaluasi :
Pasien tidak mengalami kehilangan berat badan lebih lanjut, masukan makanan dan cairan meningkat, urine tidak pekat, pengeluaran urine meningkat, kulit tidak kering.
Intervensi dan Rasionalisasi :
No
Intervensi
Raionalisasi

1.






2.



3.






4.




5.








Mandiri :
Pantau :
-          persentase jumlah makanan yg      dikonsumsi setiap kali makan.
-          timbang BB setiap hari
-          Hasil pemeriksaan : protein total, albumin dan osmalalitas.

Berikan perawatan mulut tiap 4 jam jika sputum tercium bau busuk. Pertahankan kesegaran ruangan.

Dorong pasien untuk mengkonsumsi makanan TKTP.





Berikan makanan dengan porsi sedikit tapi sering yg mudah dikunyah jika ada sesak napas berat.

Kolaborasi :
Rujuk  kepada  ahli  diet  untuk  membantu memilih makanan yg dapat memenuhi kebutuhan nutrisi selama sakit




Untuk mengidentifikasi kemajuan-kemajuan atau penyimpangan
sasaran yg diharapkan.



Bau yg tidak menyenangkan dapat mempengaruhi nafsu makan


Peningkatan suhu tubuh meningkatkan metabolisme. Masukan nutrisi yg adekuat, vitamin, mineral dan kaloriuntuk aktivitas anabolik dan sintesis
 antibodi.

Makanan porsi sedikit tapi sering memerlukan lebih sedikit energi.



Ahli diet ialah spesialisasi dlm hal nutrisi yg dpt membantu pasien memilih makanan yg memenuhi kebutuhan kalori dan kebutuhan nutrisi sesuai dgn keadaan sakitnya, usia, TB & BB. Kebanyakan pasien lebih suka mengkonsumsi makanan yg merupakan pilihan sendiri.

DP. 3.  Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi yang dialami dan proses pengobatan
Batasan Karakteristik :
Subjektif
Menyatakan perasaan takut
Takut sendiri
Ekspresi wajah tegang
Cemas
Ketakutan
Tujuan / Hasil Pasien (kolaboratif) :
Mendemonstrasikan hilangnya ansietas dan memberikan informasi tentang proses penyakit, program pengobatan
Kriteria Evaluasi :
Ekspresi wajah relaks, Cemas dan rasa takut hilang atau berkurang
Intervensi dan Rasionalisasi :
No
Intervensi
Rasionalisasi

1.



2.



3.




4.




5.

Mandiri :
Jelaskan tujuan pengobatan pada pasien


Kaji patologi masalah individu.



Kaji ulang tanda / gejala yang memerlukan evaluasi medik cepat,contoh nyeri dada tiba-tiba, dispnea, distres pernapasan lanjut.

Kaji ulang praktik kesehatan yang baik, istirahat.


Kolaborasi :
Gunakan obat sedatif sesuai dengan anjuran

Mengorientasi program pengobatan. Membantu menyadarkan klien untuk memperoleh kontrol

Informasi menurunkan takut karena ketidaktahuan. Memberika pengetahuan dasar untuk pemahaman kondisi dinamik 

Berulangnya pneumotorak/hemotorak memerlukan intervensi medik untuk mencegah / menurunkan potensial komplikasi.ntingya Intervensi te

Mempertahanan kesehatan umum meningkatkan penyembuhan dan dapat mencegah kekambuhan.rapeutik.


Banyak pasien yang membutuhkan obat penenang untuk mengontrol ansietasnya


DP. 4. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan nyeri akut dan ketidaknyamanan
Batasan Karakteristik :
Subjektif
Lemah
Nyeri Akut
Objektif
Kelelahan untuk aktifitas fisik
Denyut jantung dan TD tidak normal
Tujuan / Hasil Pasien (kolaboratif) :
Pasien menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktifitas.
Kriteria Evaluasi :
Menurunnya keluhan terhadap kelemahan, dan kelelahan dalam melakukan aktifitas, berkurangnya nyeri.
Intervensi dan Rasionalisasi :
No
Intervensi
Rasionalisasi

1.




2.


3.




4.



5.


6.

Mandiri :
Jelaskan aktivitas dan faktor yang dapat meningkatkan kebutuhan oksigen



Anjurkan program hemat energi


Buat jadwal aktifitas harian, tingkatkan secara bertahap



Kaji respon abdomen setelah beraktivitas



Berikan kompres air hangat


Beri waktu istirahat yang cukup


Merokok, suhu ekstrim dan stre menyebabkan vasokonstruksi pembuluh garah dan peningkatan beban jantung

Mencegah penggunaan energi berlebihsn

Mempertahankan pernapasan lambat dengan tetap mempertahankan latihan fiisk yang memungkinkan peningkatan kemampuan otot bantu pernapasan

Respon abdomen melipuit nadi, tekanan darah, dan pernapasan yang meningkat

Kompres air hangat dapat mengurangi rasa nyeri

Meningkatkan daya tahan pasien, mencegah keletihan

DP 5, Resiko Infeksi berhubungan dengan pendarahan pada retroperitonium
Batasan Karakteristik:
Tidak dapat diterapkan adanya tanda- tanda dan gejala- gejala membuat diagnosa actual.
Kriteria Hasil:
Mencapai waktu penyembuhan
Intervensi dan rasionalisasi:
No.
Intervensi
Rasionalisasi

1.




Mandiri:
Pertahankan system kateter steril; berikan perawatan kateter regular dengan sabun dan air, berikan salep antibiotic disekitar sisi kateter.

Mencegah pemasukan bakteri dari infeksi/ sepsis lanjut.
2.



Ambulasi dengan kantung drainase dependen.

Menghindari refleks balik urine, yang dapat memasukkan bakteri kedalam kandung kemih.
3



.
Awasi tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil, nadi dan pernapasan cepat, gelisah, peka, disorientasi.

Pasien yang mengalami sistoskopi/ TUR prostate beresiko untuk syok bedah/ septic sehubungan dengan manipulasi/ instrumentasi
4.




Observasi drainase dari luka, sekitar kateter suprapubik.

Adanya drain, insisi suprapubik
meningkatkan resiko untuk infeksi, yang diindikasikan dengan eritema, drainase purulen.
5.




Ganti balutan dengan sering (insisi supra/ retropublik dan perineal), pembersihan dan pengeringan kulit sepanjang waktu

Balutan basah menyebabkan kulit iritasi dan memberikan media untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan resiko infeksi luka.
6.
Gunakan pelindung kulit tipe ostomi


Memberikan perlindungan untuk kulit sekitar, mencegah ekskoriasi dan menurunkan resiko infeksi.

7.
Kolaborasi:
Berikan antibiotic sesuai indikasi


Mungkin diberikan secara profilaktik sehubungan dengan peningkatan resiko infeksi pada prostatektomi.

Trauma Tembus
DP. 1   Kekurangan volume cairan dan Elektrolit berhubungan dengan hemeturia dan neusea
Tujuan / Hasil Pasien (kolaboratif) :
Mencegah terjadinya resiko kekurangan volume cairan
Kriteria Evaluasi :
Suhu tubuh normal, TD normal, nadi normal, Keseimbangan cairan, memiliki asupan cairan yang adekuat, tidak mengalami haus yang tidak normal
Intervensi dan Rasionalisasi :
No
Intrvensi
Rasionalisasi

1.





2.



3.


4.


5.



6.


7.


Mandiri :
Pantau :
-       warna, jumlah dan frekuensi kehilangan cairan
-       status hidrasi (nadi dan TD)
-       Hasil laboratorium

Identifikasi faktor-fakotr yang berkontribusi terhadap bertambah buruknya dehidrasi

Tinjau ulang eletrolit, terutama natrium, kalium, klorida dan kreatinin.

Tingkatkan masukkan cairan


Bersihkan mulut secara teratur


Kolaborasi :
Laporkan abnormalitasan elektrolit kepada ahlinya

Berikan terapi IV, sesuai dengan snjuran

Untuk mengidentifikasi kemajuan-kemajuan atau penyimpangan sasaran yg diharapkan.



Untuk mengidentifikasi penyimpangan sasaran yang lebih lanjut


Merupakan eletrolit yang sangat penting bagi tubuh

Cairan membantu mencegah dehidrasi karena meningkatnya metabolisme

Kebersiahn mulut dapat meningkatkan kenyamanan pasien


Untuk mengidentifikasi penyimpangan sasaran yang lebih lanjut

Menjaga keseimbangan elektrolit dalam tubuh

Dp. 2.   Nyeri akut berhubungan dengan robekan pada abdomen dan ginjal
Tujuan / Hasil pasien
Mendemonstrasikan bebas dari nyeri
Kriteria Hasil :
Pasien tidak mengalami nyeri atau nyeri menurun sampai tingkat yang dapat diterima, tidak ada gerakan menghindari nyeri, suhu tubuh normal
Batasan Karakteristik :
Subjektif
Mengungkapkan secara verbal maupun dengan isyarat
Objektif
Gerakan menghindari nyeri
Posisi menghindari nyeri
Pucat
Suhu tubuh nmeningkat
Intervensi dan Rasinalisasi
No
Intervensi
Rasionalisasi

1

2.



3.








4.



5.





6.


Mandiri :
Kaji tingkat nyeri

Amati perubahan suhu setiap 4 jam



Berikan tindakan untuk memberikan rasa nyaman seperti mengelap bagian punggung pasien, mengganti alat tenun yg kering setelah diaforesis, memberi minim hangat, lingkungan yg tenang dgn cahaya yg redup dan sedatif ringan jika dianjurkan berikan pelembab pada kulit dan bibir.

Kompres air hangat


Kolaborasi :
Konsul  pada  dokter  jika  nyeri   dan demam tetap ada atau mungkin memburuk.



Berikan  antibiotik  sesuai  dengan anjuran dan evaluasi keefektifannya.


Menentukan tindakan selanjutnya

Untuk mengidentifikasi kemajuan-kemajuan yang terjadi maupun penyimpangan yang terjadi

Tindakan  tersebut  akan meningkatkan relaksasi. Pelembab membantu mencegah kekeringan dan pecah-pecah di mulut dan bibir.





Kompres air hangat dapat menimalisir rasa nyeri


Analgesik membantu   mengontrol  nyeri dengan memblok jalan rangsang nyeri. Nyeri pleuritik yg berat sering kali memerlukan analgetik narkotik untuk mengontrol nyeri lebih efektif

Analgesik  membantu   mengontrol  nyeri dengan memblok jalan rangsang nyeri.


DP. 3.  Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit dan proses pengobatan
Batasan Karakteristik :
Subjektif
Menyatakan perasaan takut
Takut sendiri
Objektif
Ekspresi wajah tegang
Cemas
Ketakutan
Tujuan / Hasil Pasien (kolaboratif) :
Mendemonstrasikan hilangnya ansietas dan memberikan informasi tentang proses penyakit, program pengobatan
Kriteria Evaluasi :
Ekspresi wajah relaks, Cemas dan rasa takut hilang atau berkurang
Intervensi dan Rasionalisasi :
No
Intervensi
Rasionalisasi

1.



2.



3.




4.




5.

Mandiri :
Jelaskan tujuan pengobatan pada pasien


Kaji patologi masalah individu.



Kaji ulang tanda / gejala yang memerlukan evaluasi medik cepat,contoh nyeri dada tiba-tiba, dispnea, distres pernapasan lanjut.

Kaji ulang praktik kesehatan yang baik, istirahat.


Kolaborasi :
Gunakan obat sedatif sesuai dengan anjuran

Mengorientasi program pengobatan. Membantu menyadarkan klien untuk memperoleh kontrol

Informasi menurunkan takut karena ketidaktahuan. Memberika pengetahuan dasar untuk pemahaman kondisi dinamik 

Berulangnya pneumotorak/hemotorak memerlukan intervensi medik untuk mencegah / menurunkan potensial komplikasi.ntingya Intervensi te

Mempertahanan kesehatan umum meningkatkan penyembuhan dan dapat mencegah kekambuhan.rapeutik.


Banyak pasien yang membutuhkan obat penenang untuk mengontrol ansietasnya


DP. 4.   Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan nyeri akut
Batasan Karakteristik :
Subjektif
Lemah
Nyeri Akut
Objektif
Kelelahan untuk aktifitas fisik
Denyut jantung dan TD tidak normal
Tujuan / Hasil Pasien (kolaboratif) :
Pasien menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktifitas.
Kriteria Evaluasi :
Menurunnya keluhan terhadap kelemahan, dan kelelahan dalam melakukan aktifitas, berkurangnya nyeri.
Intervensi dan Rasionalisasi :
No
Intervensi
Rasionalisasi

1.




2.


3.




4.



5.


6.

Mandiri :
Jelaskan aktivitas dan faktor yang dapat meningkatkan kebutuhan oksigen



Anjurkan program hemat energi


Buat jadwal aktifitas harian, tingkatkan secara bertahap



Kaji respon abdomen setelah beraktivitas



Berikan kompres air hangat


Beri waktu istirahat yang cukup


Merokok, suhu ekstrim dan stre menyebabkan vasokonstruksi pembuluh garah dan peningkatan beban jantung

Mencegah penggunaan energi berlebihsn

Mempertahankan pernapasan lambat dengan tetap mempertahankan latihan fiisk yang memungkinkan peningkatan kemampuan otot bantu pernapasan

Respon abdomen melipuit nadi, tekanan darah, dan pernapasan yang meningkat

Kompres air hangat dapat mengurangi rasa nyeri

Meningkatkan daya tahan pasien, mencegah keletihan

DP.5.  Resiko Infeksi berhubungan dengan ruptur / pendarahan dan robekan pada abdomen
Batasan Karakteristik:
Tidak dapat diterapkan adanya tanda- tanda dan gejala- gejala membuat diagnosa actual.
Kriteria Hasil:
Mencapai waktu penyembuhan
Tak mengalami tanda refleks
Intervensi dan rasionalisasi:
No
Intervensi
Rasionalisasi

1.





Mandiri:
Pertahankan system kateter steril; berikan perawatan kateter regular dengan sabun dan air, berikan salep antibiotic disekitar sisi kateter.


Mencegah pemasukan bakteri dari infeksi/ sepsis lanjut.


2.
Ambulasi dengan kantung drainase dependen.

 Menghindari refleks balik urine, yang dapat memasukkan bakteri kedalam kandung kemih.

3.
Awasi tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil, nadi dan pernapasan cepat, gelisah, peka, disorientasi.


Pasien yang mengalami sistoskopi/ TUR prostate beresiko untuk syok bedah/ septic sehubungan dengan manipulasi/ instrumentasi

4.
Observasi drainase dari luka, sekitar kateter suprapubik.

Adanya drain, insisi suprapubik meningkatkan resiko untuk infeksi, yang diindikasikan dengan eritema, drainase purulen.

5.
Ganti balutan dengan sering (insisi supra/ retropublik dan perineal), pembersihan dan pengeringan kulit sepanjang waktu

Balutan basah menyebabkan kulit iritasi dan memberikan media untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan resiko infeksi luka.

6.
Gunakan pelindung kulit tipe ostomi


Memberikan perlindungan untuk kulit sekitar, mencegah ekskoriasi dan menurunkan resiko infeksi.



7.
Kolaborasi:
Berikan antibiotic sesuai indikasi


Mungkin diberikan secara profilaktik sehubungan dengan peningkatan resiko infeksi pada prostatektomi.





Daftar Pustaka

Purnawan Junadi, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke 2. Media Aeskulapius, FKUI
1982. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI 1990.

Doenges E Marilynn, 2000., Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta

Kalim, Handono, 1996., Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

Mansjoer, Arif, 2000., Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculaapius FKUI, Jakarta.

Prince, Sylvia Anderson, 1999., Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit., Ed. 4, EGC, Jakarta.

Internet :
stikep.blogspot.com
media.asuhankeperawatan.blogspot.com

0 komentar:

By :
Free Blog Templates